Thursday, October 13, 2011

PENYEBAB & AKIBAT TAWURAN





PENYEBAB DAN DAMPAK TAWURAN
Perkelahian, atau yang sering disebut tawuran, sering terjadi di antara pelajar. Bahkan bukan “hanya” antar pelajar SMU, tapi juga sudah melanda sampai ke kampus-kampus. Ada  yang mengatakan bahwa berkelahi adalah hal yang wajar pada remaja.
 Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran ini sering terjadi. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus.  
 Dampak perkelahian pelajar
Jelas bahwa perkelahian pelajar ini merugikan banyak pihak. Paling tidak ada empat kategori dampak negatif dari perkelahian pelajar. Pertama, pelajar (dan keluarganya) yang terlibat perkelahian sendiri jelas mengalami dampak negatif pertama bila mengalami cedera atau bahkan tewas. Kedua, rusaknya fasilitas umum seperti bus, halte dan fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi seperti kaca toko dan kendaraan. Ketiga, terganggunya proses belajar di sekolah. Terakhir, mungkin adalah yang paling dikhawatirkan para pendidik, adalah berkurangnya penghargaan siswa terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain. Para pelajar itu belajar bahwa kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk memecahkan masalah mereka, dan karenanya memilih untuk melakukan apa saja agar tujuannya tercapai. Akibat yang terakhir ini jelas memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat di Indonesia.
Pandangan umum terhadap penyebab perkelahian pelajar
Sering dituduhkan, pelajar yang berkelahi berasal dari sekolah kejuruan, berasal dari keluarga dengan ekonomi yang lemah. Data di Jakarta tidak mendukung hal ini. Dari 275 sekolah yang sering terlibat perkelahian, 77 di antaranya adalah sekolah menengah umum. Begitu juga dari tingkat ekonominya, yang menunjukkan ada sebagian pelajar yang sering berkelahi berasal dari keluarga mampu secara ekonomi. Tuduhan lain juga sering dialamatkan ke sekolah yang dirasa kurang memberikan pendidikan agama dan moral yang baik. Begitu juga pada keluarga yang dikatakan kurang harmonis dan sering tidak berada di rumah.
Padahal penyebab perkelahian pelajar tidaklah sesederhana itu. Terutama di kota besar, masalahnya sedemikian kompleks, meliputi faktor sosiologis, budaya, psikologis, juga kebijakan pendidikan dalam arti luas (kurikulum yang padat misalnya), serta kebijakan publik lainnya seperti angkutan umum dan tata kota.

Secara psikologis, perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja (juvenile deliquency). Kenakalan remaja, dalam hal perkelahian, dapat digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi yaitu situasional dan sistematik. Pada delikuensi situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang “mengharuskan” mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat. Sedangkan pada delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan, norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk berkelahi. Sebagai anggota, mereka bangga kalau dapat melakukan apa yang diharapkan oleh kelompoknya.

 Tinjauan psikologi penyebab remaja terlibat perkelahian pelajar

 
Dalam pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar. 

  1. 1. Faktor internal. Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang / pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan.

  1. 2. Faktor keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirnya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.

  1. 3. Faktor sekolah. Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik” siswanya.

  1. 4. Faktor lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.


Akibat tawuran antar siswa yang sering terjadi


Tawuran pada dasarnya hanya dilakukan oleh para preman yang tidak bermoral. Namun, pada periode antara tahun 1997-1999 kegiatan tercela tersebut malah dilakukan oleh para pelajar sekolah menengah tingkat atas sederajat. Dan yang paling sering melakukan tawuran ialah SMK atau STM yang mayoritas siswanya ialah laki-laki.
Contoh penyebab tawuran antar pelajar
Para pelajar bertawuran bukannya tanpa sebab. Penyebab tawuran umumnya adalah dendam. Dengan rasa kesetiakawanan yang tinggi para siswa tersebut akan membalas perlakuan yang disebabkan oleh siswa sekolah yang dianggap merugikan seorang siswa atau mencemarkan nama baik sekolah tersebut. Namun dengan sebab apapun kegiatan tersebut tentunya akan menyebabkan dampak yang negatif di berbagai pihak dan aspek. penyebab tawuran antar pelajar antara lain sebagai berikut:
A. Sebab karena dendam:
1. Dendam akibat pemalakan dan perampasan
Apabila seorang siswa dari suatu sekolah menengah atas dipalak atau dirampas uang dan hartanya, dia akan melapor kepada pentolan di sekolahnya. Kemudian pentolan itu akan mengumpulkan siswa untuk menghampiri siswa dari sekolah musuh ditempat dimana biasanya mereka menunggu bis atau kendaraan pulang. Apabila jumlah siswa dari sekolah musuh hanya sedikit, mereka akan balik memalak atau merampas siswa sekolah musuh tersebut. Tetapi jika jumlah siswa sekolah musuh tersebut seimbang atau lebih banyak, mereka akan melakukan kontak fisik.
2. Dendam akibat rasa iri akibat tidak dapat menjadi siswa di SMK yang diinginkan
Ketika seorang siswa mendaftar masuk ke SMK negeri, tetapi ia malah tidak diterima di sekolah tersebut. Dia akan masuk ke SMKN lain bahkan ia bisa bersekolah di SMK swasta yang kualitasnya lebih rendah. Disebabkan oleh dendam pada sekolah yang dulu tidak menerimanya sebagai siswa, dia berusaha untuk membuat siswa yang bersekolah di sekolah tersebut merasa tidak nyaman. Dia akan memprofokasikan dan mencari-cari kesalahan sekolah tersebut agar akhirnya terjadi kontak fisik.
B. Sebab selain dendam
1. Ulang tahun sekolah Ketika sebuah sekolah berulang tahun, para siswa beberapa SMK di Jakarta merayakannya dengan merencanakan penyerangan ke berbagai SMK lain yang dianggap sebagai musuh sekolah tersebut.
2. Menjelang hari libur panjang
Saat sehari menjelang hari libur, para siswa juga merencanakan penyerangan ke berbagai sekolah lain yang dianggap sebagai musuh sekolah tersebut.
3. Setelah diumumkan hasil Ujian Nasional ini ialah yang paling bodoh dari segala penyebab tawuran. Tiga tahun bersekolah menuntut ilmu, diakhiri dengan kegiatan yang sangat tidak manusiawi. Bertawuran setelah diumumkan hasil UN akan menyebabkan kematian apabila tidak dapat bertahan. Walaupun dia bisa bertahan siswa tersebut akan tetap dikeluarkan dari sekolahnya.
Pelaku tawuran:
Seperti yang kita ketahui, para profokator tawuran ialah seseorang suswa yang penuh dengan dendam. Ada beberapa julukan bagi para pelaku tawuran seperti pentolan dan gembel. Pentolan adalah seorang pemimpin, siswa yang berani melukai tubuh musuhnya saat sedang tawuran. Dia berhak meminta sumbangan pada para siswa untuk alasan membeli BR atau senjata tajam yang akan digunakan saat tawuran. Dia juga berhak meminta uang untuk alasan diberikan kepada temannya yang terluka saat tawuran. Gembel adalah seorang alumni atau seorang yang telah dikeluarkan dari sekolah. Dia juga memiliki hak yang sama seperti pentolan untuk meminta sumbangan.
Senjata yang digunakan saat tawuran:
Senjata yang digunakan saat tawuran ialah senjata tajam dan benda benda tumpul. Contohnya ialah pedang samurai, cerurit, kopel, gesper berkepala gear,dll. Apabila seorang tidak membawa senjata, dia akan menggunakan batu, kayu, atau bambu untuk melawan. Senjata tersebut biasanya disembunyikan di kantin atau semak-semak dekat sekolah.
Kendaraan perang:
Kendaraan yang digunakan saat tawuran ialah bus yang mereka tumpangi saat pergi dan pulang sekolah. Mereka berkumpul ditempat yang mereka janjikan untuk berkumpul dan memberhentikan bus. Setelah itu mereka menaiki bus tersebut beramai-ramai. Disepanjang jalan mereka meneriakkan yel-yel sekolah mereka saat melewati sekolah lain. Kereta juga mereka jadikan tempat bertawuran ketika ada sejumlah siswa dari sekolah lain yang ada di kereta tersebut. Apabila mereka tidak menemukan siswa sekolah lain di kereta tersebut mereka telah mempersiapkan bebatuan ditas mereka untuk melempari siswa sekolah lain yang mereka temui sepanjang perjalanan.
Akibat Tawuran:
Aspek fisik:Tawuran dapat menyababkan kematian dan luka berat bagi para siswa. Kerusakan yang parah pada bus yang dan kaca gedung atau rumah yang terkena lemparan batu.
Aspek mental:Tawuran dapat menyebabkan trauma pada para siswa yang menjadi korban, merusak mental para generasi muda, dan menurunkan kualitas pendidikan di Indonesia.


TAWURAN PELAJAR


TAWURAN

Tawuran merupakan salah satu bentuk kenakalan remaja yang akhir-akhir ini seakan menjadi trend yang mengarah ke tindakan kriminal. Namun secara sosiologis, kenakalan remaja merupakan suatu bentuk perubahan status. Yaitu, pemunculan suatu karakter atau sosok “jagoan” yang ‘ditakuti’ kemudian mengarah ke ‘disegani’ (baik sebagai pribadi maupun kelembagaan (sekolah) yang ditempatinya). Perubahan status ini seakan menimbulkan prestise. Pemunculan status jagoan dapat terjadi bila seorang remaja karena faktor kesengajaan (bila ia menginginkan status itu untuk suatu prestise yang baginya akan memperoleh keuntungan) dan ketidaksengajaan
bila seorang remaja tersebut seringkali terlibat dalam perkelahian, secara otomatis status jagoan akan disandangnya). Predikat dan sekaligus “eksistensi” jagoan ini membutuhkan pengkuan dari teman-teman sebayanya yang muncul baik secara langsung maupun tidak langsnug hal ini biasanya diwujudkan melalui soidaritas yang tinggi diantara mereka.
-------->Dari sini ada proses saling memberi dan saling menerima.
Satu hal yang menjadi polemik adalah bila seorang jagoan (merupakan simbol ‘ditakuti’) terkadang harus melindungi teman-teman yang mengakui keberadaanya yang terancam oleh pihak lain. Atau bila suatu hal yang dirasa akan mengancam eksistensi kejagoannya maka ia akan menjaga imagenya sebagai pembelaan harga diri. Akibat yan terjadi adalah adanya suatu kenyataan sosial yang terjadi dari tindakan-tindakan sosial individdu dalam bentuk negosiasi yang dibangun/diubah sedemikian rupa melalui rekayasa sosial oleh konsensus antar individu/kelompok non formal (semacam geng) sebagai upaya menjaga image-nya dalam mempertahankan harga dirinya, dan teman-temannya memberikan “bantuan” sebagai wujud solidaritas.
-------->Tawuran disini terkadang tidak selalu mempermaslahkan antara mana yang kalah dan mana yang menang. Tetapi bagaimana cara mereka bisa “memberi pelajaran” kepada individu/kelompok yang dianggapnya sebagai musuh. Hal ini berbeda dengan perkelahian satu lawan satu (atau yang disebut dengan duel). Di dalam duel terkadang individu yang kalah mau menerima kekalahannya secara sportif. Namun, bila individu yang kalah ini tidak mau menerima kekalahannya (dengan berbagai alasan, misalnya ia mengaku tidak berbuat kesalahan), maka ia akan memanggil bala (komunitas rekan-rekan sepergaulan hidupnya) sebagai bala bantuan untuk menghajar seseorang yang telah memukulinya. Melihat hal ini, individu yang seharusnya menang juga akan memanggil bala-nya. Akibatnya adalah ada suatu bentrok fisik diantara dua komunitas itu.
-------->Tawuran yang terjadi juga hanya karena masalah sepele, namun di mata mereka yang terlibat malah sebaliknya karena dianggap menginjak harga diri mereka. Melihat fenomena sosial yang ada individu-individu yang menyandang predikat jagoan, terkadang ingin melepaskan status tersebut seiring dengan proses kematangan kedewasaanya. Namun faktor penghambat bagi dirinya adalah menghadapi tantangan pihak lain dalam wujud bentrok fisik.
-------->Oleh karena langkah remaja selalu mengalami perubahan secara sosial sebagai proses transformasi modifikasi generasi, maka dalam menghadapi masalah kenakalan remaja ini haruslah melalui pendekatan-pendekatan nilai-nilai kemanusiaan. Kadang kala diperlukan sanksi tegas sebagai pelajaran baik bagi dirinya maupun bagi yang lain.
-------->Namun ada suatu polemik yang ditimbulkan dari adanya sanksi tegas tersebut, sehingga mengakibatkan mereka semakin terjerumus. Sanksi tegas janganlah hanya digunakan sebagai alasan klasik, misalnya untuk menjaga kredibilitas lembaga (sekolah). Sanksi tegas haruslah dapat berfungsi sebagai kontrol sosial. Sesuaikanlah bentuk sanksi-sanksi tersebut dengan latar belakang yang mempengaruhi individu tersebut. Budaya egosentrisme yang muncul di tengah-tengah pergaulan hidup mereka, sebaiknya diupayakan dengan wujud kegiatan-kegiatan yang positif denagn menyalurkan sesuai bakat dan minat yang didukung dengan fasilitas-fasilitas yang memadai. Untuk itu, dalam menghadapi problematik remaja tidak hanya cukup dengan memberikan bimbingan, namun kontrol sosial dengan sisi humanisme perlu dilakukan mengingat remaja dalam proses pencarian jati diri dapat terarah dengan baik.


Tawuran Pelajar, Bukti Gagalnya Pendidikan Karakter

Tawuran antar pelajar yang marak terjadi di Jakarta, salah satu penyebabnya adalah gagalnya pendidikan karakter di sekolah-sekolah.
Itu sebabnya, sekolah dalam hal ini guru perlu mencari solusi agar persoalan pendidikan karakter ini bisa ditanamkan  kepada setiap diri siswa.
Jika pendidikan karakter ini sudah tertanam pada setiap diri siswa, Rektor Universitas Muhammadiyah Prof Hamka (Uhamka) Prof Suyatno yakin bahwa tidak hanya persoalan tawuran antar pelajar yang bisa terselesaikan.
“Nilai-nilai kesopanan, kerukunan dan penghargaan pelajar pun bisa diperoleh,” jelas Suyatno disela seminar nasional dan Kongres Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial (HISPISI) XII yang difasilitasi Uhamka, Sabtu (8/10).
Karena dalam pendidikan karakter, tidak hanya mengajarkan bagaimana menjadi manusia yang bertanggungjawab, tetapi sekaligus mengajarkan tentang nilai-nilai kebaikan dalam hidup. Seperti nilai penghargaan pada guru dan orangtua, keimanan dan ketakwaan, ahklak mulia dan sebagainya.
Suyatno mengatakan bahwa pendidikan karakter yang selama ini diberikan bersifat integral dengan mata pelajaran lain. Tidak diberikan secara khusus kepada siswa. Padahal pendidikan karakter ini bisa diberikan secara khusus melalui ilmu-ilmu sosial.
“Sayangnya, dalam dunia pendidikan, ilmu sosial seperti kurang diminati oleh masyarakat,” lanjut Suyatno.
Ilmu sosial dikatakan Suyatno hanya akan dipandang oleh masyarakat jika pecah kerusuhan, muncul tawuran pelajaran dan tindak kekerasan lain. “Sepertinya ilmu sosial hanya sekedar menjadi pemadam kebakaran saja,” tambahnya.
Itu sebabnya, dalam Kongres HISPISI, Suyatno menilai perlunya upaya-upaya dari guru ilmu sosial untuk mendongkrak dan mengubah imej ilmu sosial ini. Bahwa ilmu sosial keberadaannya sejajar dan sama pentingnya dengan ilmu eksakta.
Seminar dan Kongres HISPISI tersebut menghadirkan Dirjen Dikti Djoko Santoso, Mantan Mendikbud Daoed Joesoef, mantan Ketua BSNP Yunan Yusuf, dan pengurus PP Muhammadiyah Dr Zamroni.

LATAR BELAKANG

  1. Hasil analisa Asops Kapolri akhir tahun 1999 bahwa bangsa Indonesia bila 2 – 5 tahun mendatang akan menghadapi bahaya nasional yaitu penyalahgunaan Narkoba, terjadinya tawuran dan tindakan anarkhis.
  2. Krisis multidimensi yang tengah melanda Indonesia sekarang mempunyai dampak sangat negative antara lain ditandai dengan semakin memprihatinkannya kondisi generasi muda yang terkena Narkoba berikut meningkatnya jumlah tawuran dan perbuatan anarkhis yang menimbulkan korban jiwa.
  3. Selain itu, akibat krisis tersebut Indonesia yang memang merupakan lintas Internasional yang sangat strategis sejak jaman dahulu, kini merupakan lahan empuk dan likasi aman bagi alur dan bahkan sasaran tujuan peredaran Narkoba Internasional.
  4. Selain sebagai jalur transit Narkoba Internasional Indonesia juga sasaran utama Narkoba Internasional.
  5. Peredaran dan penyalahgunaan Narkoba sangat memprihatinkan karena telah meluas keseluruh penjuru tanah air dari kota sampai ke desa.
  6. Tawuran yang dimasa lampau masih merupakan peristiwa-peristiwa yang bersifat temporer, pada saat ini karena pengaruh berkembangnya tradisi amuk masa, tawuran belakangan ini sudah menjadi perbuatan yang sering terjadi pada sebagian besar generasi muda baik yang berpendidikan maupun yang tidak.
  7. Tawuran yang merupakan pertarungan fisik antar kelompok, ini dapat dijadikan alat bagi kepentingan kelompok yang bersifat politik maupun kriminal.
  8. Perbuatan anarkhis memaksakan kehendak tanpa memperhatikan norma hukum membuat rakyat semakin takut hidup dilingkungannya.