Thursday, October 13, 2011

TAWURAN PELAJAR


TAWURAN

Tawuran merupakan salah satu bentuk kenakalan remaja yang akhir-akhir ini seakan menjadi trend yang mengarah ke tindakan kriminal. Namun secara sosiologis, kenakalan remaja merupakan suatu bentuk perubahan status. Yaitu, pemunculan suatu karakter atau sosok “jagoan” yang ‘ditakuti’ kemudian mengarah ke ‘disegani’ (baik sebagai pribadi maupun kelembagaan (sekolah) yang ditempatinya). Perubahan status ini seakan menimbulkan prestise. Pemunculan status jagoan dapat terjadi bila seorang remaja karena faktor kesengajaan (bila ia menginginkan status itu untuk suatu prestise yang baginya akan memperoleh keuntungan) dan ketidaksengajaan
bila seorang remaja tersebut seringkali terlibat dalam perkelahian, secara otomatis status jagoan akan disandangnya). Predikat dan sekaligus “eksistensi” jagoan ini membutuhkan pengkuan dari teman-teman sebayanya yang muncul baik secara langsung maupun tidak langsnug hal ini biasanya diwujudkan melalui soidaritas yang tinggi diantara mereka.
-------->Dari sini ada proses saling memberi dan saling menerima.
Satu hal yang menjadi polemik adalah bila seorang jagoan (merupakan simbol ‘ditakuti’) terkadang harus melindungi teman-teman yang mengakui keberadaanya yang terancam oleh pihak lain. Atau bila suatu hal yang dirasa akan mengancam eksistensi kejagoannya maka ia akan menjaga imagenya sebagai pembelaan harga diri. Akibat yan terjadi adalah adanya suatu kenyataan sosial yang terjadi dari tindakan-tindakan sosial individdu dalam bentuk negosiasi yang dibangun/diubah sedemikian rupa melalui rekayasa sosial oleh konsensus antar individu/kelompok non formal (semacam geng) sebagai upaya menjaga image-nya dalam mempertahankan harga dirinya, dan teman-temannya memberikan “bantuan” sebagai wujud solidaritas.
-------->Tawuran disini terkadang tidak selalu mempermaslahkan antara mana yang kalah dan mana yang menang. Tetapi bagaimana cara mereka bisa “memberi pelajaran” kepada individu/kelompok yang dianggapnya sebagai musuh. Hal ini berbeda dengan perkelahian satu lawan satu (atau yang disebut dengan duel). Di dalam duel terkadang individu yang kalah mau menerima kekalahannya secara sportif. Namun, bila individu yang kalah ini tidak mau menerima kekalahannya (dengan berbagai alasan, misalnya ia mengaku tidak berbuat kesalahan), maka ia akan memanggil bala (komunitas rekan-rekan sepergaulan hidupnya) sebagai bala bantuan untuk menghajar seseorang yang telah memukulinya. Melihat hal ini, individu yang seharusnya menang juga akan memanggil bala-nya. Akibatnya adalah ada suatu bentrok fisik diantara dua komunitas itu.
-------->Tawuran yang terjadi juga hanya karena masalah sepele, namun di mata mereka yang terlibat malah sebaliknya karena dianggap menginjak harga diri mereka. Melihat fenomena sosial yang ada individu-individu yang menyandang predikat jagoan, terkadang ingin melepaskan status tersebut seiring dengan proses kematangan kedewasaanya. Namun faktor penghambat bagi dirinya adalah menghadapi tantangan pihak lain dalam wujud bentrok fisik.
-------->Oleh karena langkah remaja selalu mengalami perubahan secara sosial sebagai proses transformasi modifikasi generasi, maka dalam menghadapi masalah kenakalan remaja ini haruslah melalui pendekatan-pendekatan nilai-nilai kemanusiaan. Kadang kala diperlukan sanksi tegas sebagai pelajaran baik bagi dirinya maupun bagi yang lain.
-------->Namun ada suatu polemik yang ditimbulkan dari adanya sanksi tegas tersebut, sehingga mengakibatkan mereka semakin terjerumus. Sanksi tegas janganlah hanya digunakan sebagai alasan klasik, misalnya untuk menjaga kredibilitas lembaga (sekolah). Sanksi tegas haruslah dapat berfungsi sebagai kontrol sosial. Sesuaikanlah bentuk sanksi-sanksi tersebut dengan latar belakang yang mempengaruhi individu tersebut. Budaya egosentrisme yang muncul di tengah-tengah pergaulan hidup mereka, sebaiknya diupayakan dengan wujud kegiatan-kegiatan yang positif denagn menyalurkan sesuai bakat dan minat yang didukung dengan fasilitas-fasilitas yang memadai. Untuk itu, dalam menghadapi problematik remaja tidak hanya cukup dengan memberikan bimbingan, namun kontrol sosial dengan sisi humanisme perlu dilakukan mengingat remaja dalam proses pencarian jati diri dapat terarah dengan baik.


Tawuran Pelajar, Bukti Gagalnya Pendidikan Karakter

Tawuran antar pelajar yang marak terjadi di Jakarta, salah satu penyebabnya adalah gagalnya pendidikan karakter di sekolah-sekolah.
Itu sebabnya, sekolah dalam hal ini guru perlu mencari solusi agar persoalan pendidikan karakter ini bisa ditanamkan  kepada setiap diri siswa.
Jika pendidikan karakter ini sudah tertanam pada setiap diri siswa, Rektor Universitas Muhammadiyah Prof Hamka (Uhamka) Prof Suyatno yakin bahwa tidak hanya persoalan tawuran antar pelajar yang bisa terselesaikan.
“Nilai-nilai kesopanan, kerukunan dan penghargaan pelajar pun bisa diperoleh,” jelas Suyatno disela seminar nasional dan Kongres Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial (HISPISI) XII yang difasilitasi Uhamka, Sabtu (8/10).
Karena dalam pendidikan karakter, tidak hanya mengajarkan bagaimana menjadi manusia yang bertanggungjawab, tetapi sekaligus mengajarkan tentang nilai-nilai kebaikan dalam hidup. Seperti nilai penghargaan pada guru dan orangtua, keimanan dan ketakwaan, ahklak mulia dan sebagainya.
Suyatno mengatakan bahwa pendidikan karakter yang selama ini diberikan bersifat integral dengan mata pelajaran lain. Tidak diberikan secara khusus kepada siswa. Padahal pendidikan karakter ini bisa diberikan secara khusus melalui ilmu-ilmu sosial.
“Sayangnya, dalam dunia pendidikan, ilmu sosial seperti kurang diminati oleh masyarakat,” lanjut Suyatno.
Ilmu sosial dikatakan Suyatno hanya akan dipandang oleh masyarakat jika pecah kerusuhan, muncul tawuran pelajaran dan tindak kekerasan lain. “Sepertinya ilmu sosial hanya sekedar menjadi pemadam kebakaran saja,” tambahnya.
Itu sebabnya, dalam Kongres HISPISI, Suyatno menilai perlunya upaya-upaya dari guru ilmu sosial untuk mendongkrak dan mengubah imej ilmu sosial ini. Bahwa ilmu sosial keberadaannya sejajar dan sama pentingnya dengan ilmu eksakta.
Seminar dan Kongres HISPISI tersebut menghadirkan Dirjen Dikti Djoko Santoso, Mantan Mendikbud Daoed Joesoef, mantan Ketua BSNP Yunan Yusuf, dan pengurus PP Muhammadiyah Dr Zamroni.

LATAR BELAKANG

  1. Hasil analisa Asops Kapolri akhir tahun 1999 bahwa bangsa Indonesia bila 2 – 5 tahun mendatang akan menghadapi bahaya nasional yaitu penyalahgunaan Narkoba, terjadinya tawuran dan tindakan anarkhis.
  2. Krisis multidimensi yang tengah melanda Indonesia sekarang mempunyai dampak sangat negative antara lain ditandai dengan semakin memprihatinkannya kondisi generasi muda yang terkena Narkoba berikut meningkatnya jumlah tawuran dan perbuatan anarkhis yang menimbulkan korban jiwa.
  3. Selain itu, akibat krisis tersebut Indonesia yang memang merupakan lintas Internasional yang sangat strategis sejak jaman dahulu, kini merupakan lahan empuk dan likasi aman bagi alur dan bahkan sasaran tujuan peredaran Narkoba Internasional.
  4. Selain sebagai jalur transit Narkoba Internasional Indonesia juga sasaran utama Narkoba Internasional.
  5. Peredaran dan penyalahgunaan Narkoba sangat memprihatinkan karena telah meluas keseluruh penjuru tanah air dari kota sampai ke desa.
  6. Tawuran yang dimasa lampau masih merupakan peristiwa-peristiwa yang bersifat temporer, pada saat ini karena pengaruh berkembangnya tradisi amuk masa, tawuran belakangan ini sudah menjadi perbuatan yang sering terjadi pada sebagian besar generasi muda baik yang berpendidikan maupun yang tidak.
  7. Tawuran yang merupakan pertarungan fisik antar kelompok, ini dapat dijadikan alat bagi kepentingan kelompok yang bersifat politik maupun kriminal.
  8. Perbuatan anarkhis memaksakan kehendak tanpa memperhatikan norma hukum membuat rakyat semakin takut hidup dilingkungannya.


No comments:

Post a Comment